GARUT EXPRESS – Meskipun langkah-langkah telah diambil untuk mengatasi permasalahan ini, perkawinan anak di Kabupaten Garut, Jawa Barat, masih menjadi tantangan serius bagi masyarakat dan pemerintah setempat.
Data terbaru menunjukkan bahwa angka perkawinan anak di wilayah ini masih cukup tinggi, memicu keprihatinan dan penekanan untuk menghentikan praktik ini.
Salah satu usaha untuk menguranginya, Yayasan Semak dan Rutgers bekerjasama membuat workshop mengenai norma-norma sosial untuk para aktor-aktor di masyarakat.
“Kami Yayasan Semak saat ini mengundang untuk pertemuan hari ini, aktor-aktor sosial yang berasal dari 4 desa dampingan program Power to Youth dengan Rutgers Indonesia,” kata Rina Nurhayati, di ruang pertemuan Hotel Sabda Alam Garut, Kamis (15//6/2023).
Menurut Rina, para peserta ada dari perwakilan Desa Rancabango, Desa Mekarjaya, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Kemudian, lanjutnya ada Desa Sukamukti dan desa Kadasari di kecamatan Banyuresmi.
“Kenapa kami mengundang mereka? Kemudian yang lainnya lagi ada itu dari BPD, tokoh masyarakat, tokoh agama juga kami undang. Karena terkait dengan identifikasi norma-norma sosial yang memang selama ini ditemukan di Kabupaten Garut,” kata Rina.
Tujuannya, mengidentifikasi norma-norma sosial dan melihat dampak dan tindak lanjut yang akan dilakukan ke depan terkait dengan norma sosial.
“Karena ini juga dikaitkan dengan program yang kita laksanakan di Kabupaten Garut untuk program Power to Youth dan juga program PKRS, pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang ada di 4 sekolah juga di desa dampingan kita,” ujarnya.
Sesi pertemuan hari ini, kata dia, lebih ke norma sosial, artinya lebih banyak mengidentifikasi lebih ke kebiasaan atau budaya yang sering terjadi di Kabupaten Garut.
“Seperti contoh misalnya tentang isu perkawinan anak. Isu perkawinan anak ini teridentifikasi oleh para peserta bahwa kenapa terjadi perkawinan anak karena memang masih ada norma-norma di masyarakat yang memang masih kuat dan kental merugikan anak,” ungkapnya.
Dan hal ini berdasarkan identifikasinya, lanjutnya, kenapa terjadi perkawinan anak, karena menurut orang tua mengawinkan anak itu untuk mengurangi beban keluarga.
“Namun tentunya bukan menjadi solusi. Walaupun pada akhirnya hanya 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan anak menikah, akhirnya kembali ke orang tua. Karena memang tidak bisa, belum siap untuk mengurungi baktera rumah tangga karena memang usianya masih sangat muda pada kali seperti itu,” imbuhnya.
Menurutnya, angka perkawinan anak di Garut masih tinggi untuk Jawa Barat. Tadi kami membuka data itu ada sekitar 5.700 untuk level di Jawa Barat. Nah yang cukup tinggi itu salah satunya adalah kebuatan Garut, diurutan yang cukup tinggi untuk perkawinan anak.
“Kayaknya yang tertinggi deh. Tapi nanti kita bisa kaji bersama mungkin itu seperti apa sih. Atau mungkin justru kenapa Garut menjadi cukup tinggi kasusnya, karena mungkin banyak sekali orang-orang yang mengawasi, mengontrol dan yang lainnya,” akunya.(*)