oleh:
Ivi Daspi A.Md.Par SE
Penulis Adalah: Asessor Kompetensi Pariwisata & Pangajar pada Prodi Perhotelan ARS University
Membuka kembali file jejak digital tentang isu wisata mahal di Garut beberapa tahun lalu menggelitik pemikiran penulis bahwa hal ini bukanlah isu sepele yang dibiarkan begitu saja berlalu tanpa ada solusi bagi perbaikan kualitas pariwisata Garut ke depan.. Stigmatisasi tersebut bisa saja kembali berhembus menghantam kredibilitas dan nama baik daerah di tengah upaya pemerintah dan seluruh stakeholder membangkitkan kembali iklim kepariwisataan di Garut pasca Pandemi Covid-19, apabila tidak segera dibenahi akar permasalahannya. Bukan untuk mencari penyebab sifatnya subyektif namun menemukan solusi yang obyektif bagi kemajuan pariwisata jangka panjang.
Harus selalu dipahami bersama bahwa industry pariwisata dan semua unsur pembentuk karakteristik di dalamnya tidaklah berdiri secara parsial,namun bersifat holistic yang menimbulkan multiflier effect bagi masyarakat di sekitarnya..Sebagai contoh kasus-kasus yang terjadi dan muncul ke permukaan media,dapatlah dikatakan karena ulah oknum di dalam suatu wilayah destinasi wisata atau akomodasi yang tidak menempatkan persepsi pelanggan (baca:tamu) dalam kegiatan bisnisnya.Seperti pepatah “akibat nila setitik,rusak susu sebelanga” Sehingga hanya akibat ulah satu oknum saja maka hancurlah nama baik pariwisata daerah.Isu harga dan pelayanan yang cenderung alakadar dan pragmatis adalah embrio masalah, di sisi lain, hak keamanan dan kenyamanan wisatawan telah dilindungi oleh negara melalui Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Beberapa point yang menjadi isu hangat misalnya persoalan harga tiket masuk destinasi,harga kamar,makanan minuman, dan fasilitas lainnya yang dianggap terlalu mahal oleh wisatawan sekligus netizen. Berbicara kata ‘mahal’ umumnya dilihat dari parameter harga (price atau rate) yang ditawarkan kepada wisatawan .Dalam hal ini penetapan harga yang dianggap tidak sesuaidengan kualitas pelayanan yang diberikan pengelola wisata menjadikan jurang persepsi tamu akan penilaian obyek destinasi wisata semakin lebar. Pengelola dianggap hanya melihat dari aspek internal berupa profitabilitas,sementara mengesampingkan factor needs and wants nya pengunjung. Sebagai akibatnya kekecewaan tamu kemudian digeneralisir lalu diviralkan dalam platform media dan social media sebagai kategori wisata mahal. Hal ini menjadi beban moral juga kontraproduktif bagi para stakeholder di tengah upayamemajukan pariwisata di kabupaten Garut.
Pendekatan Persepsi,Fasilitas & Pengelolaan Fasilitas
Dalam menilai kelaikan suatu produk dan jasa, pelanggan umumnya melihat dari dua sudut pandang, yaitu persepsi harga dan persepsi kualitas. Harga sesuai daya beli dan pelayanan prima,tentu itu suatu hal yang ideal. Namun tidak jarang ada juga tipe tamu yang tidak ambil peduli dengan persoalan harga asalkan pelayanan yang diterima berkualitas dan memenuhi harapannya sehingga tercapailah kepuasan tamu dalam berwisata (worthy) Persepsi tamu tentang kualitas selain aspek keramahan (hospitality) pekerja wisata juga factor pengelolaan fasilitas.
Persepsi Kualitas Pelayanan & Fasilitas
Dari tiga belas jenis usaha pariwisata yang tercatat dalam undang-undang kepariwisataan,tentang, keseluruhannya bersinggungan dengan aspek persepsi tamu terhadap obyek destinasi wisata dan pengelolaan fasilitas. Ini belum dikaitkan jika harus dinilai dari indeks kesesuaian wisata dan daya dukung kawasan di mana obyek destinasi wisata tersebut berada.
Persoalan persepsi atau sudut pandang wisatawan terhadap produk wisata memang bersifat relative sesuai pengamatannya. Akan tetapi pada titik tertentu rangsangan indera yang diterima akan cenderung sama antar wisatawan satu dan lainnya misalnya tentang persepsi pelayanan. Menurut Young (2010) persepsi merupakan sebuah aktivitas berupa mengindra, mengintegrasikan, serta memberikan penilaian pada objek-objek fisik ataupun lingkungan social. Penginderaan tersebut tergantung kepada stimulus fisik dan lingkungan social internal selama dan pasca kunjungan.Sebagaimana salah satu karakteristik usaha hospitality yaitu bersifat simultainity,dimana proses produksi,dalam hal ini proses melayani dan konsumsi terjadi pada saat yang bersamaan (Yoeti,2004).Penginderaan tamu terhadap proses pelayanan dan kondisi internal lingkungan destinasi atau akomodasi,pada saat dikonsumsi dan dinikmati tamu,jelas akan mempengaruhi persepsinya.Baik atau buruk produk atau puas dan tidaknya pelayanan.Kebutuhan wisatawan tidak hanya menikmati keindahan alam atau keunikan objek wisata melainkan memerlukan sarana dan prasarana wisata berupa fasilitas.Kelaikan fasilitas yang dianggap tidak sesuai dengan ekspektasinya,menghasilkan kekecewaan mendalam yang akan dibawa menjadi suatu cerita sehingga melahirkan stigma.
Fasilitas merupakan sarana dan prasarana yang mendukung operasional objek wisata untuk mengakomodasi segala kebutuhan wisatawan, tidak secara langsung mendorong pertumbuhan tetapi berkembang pada saat yang sama atau sesudah atraksi (Spilanne,1994).Fasilitas utama,pendukung dan penunjang,memiliki kecenderungan orientasi kepada atraksi di suatu lokasi wisata karena fasilitas harus berada pada market nya. Selanjutnya untuk mendukung kepuasan wisatawan tentang fassilitas,diperlukan manajemen fasilitas dengan pertimbangan kriteria berikut,yaitu kualitass pelayanan,standarisasi dan pengemasan (packaging).Aspek pelayanan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan karena prisip dasar pariwisata adalah service industry.Untuk menghasilkan pelayanan prima hendaklah memenuhi standarisasi dengan mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia dan juga Standarisasi Laik Usaha.Sedangkan pertimbangan pengemasan yang dimaksud adalah bagaimana pengelola obyek wisata dan akomodasi mengemas suatu produk wisata seperti atraksi seni dan budaya juga fasilitas menjadi suatu suguhan menarik yang memuaskan dan melahirkan kenangan bagi wisatawan.
Persepsi Tentang Harga
Kecenderungan wisatawan dalam menikmati suatu produk wisata pada umumnya memilih pendekatan harga sesuai daya belinya. Tidak jarang wisatawan akan memilih paket-paket wisata yang memberikan gimmick menarik berupa potongan harga dan benefit lainnya yang ditawarkan pengelola.Persoalan harga ini memiliki sensitivitas tinggi yang mempengaruhi keputusan membeli konsumen . Untuk itu ,para pengelola obyek wisata hendakalah memahami strategi penetapan harga sebelum meluncurkan kepada masyarakat umum. Harga adalah nilai tukar dari satuan produk yang dinyatakan dalam satuan uang. Berbagai metode penetapan harga dapat dipilih sesuai dengan jenis dan ruang lingkup usaha wisata. Setidaknya Menurut Kotler & Keller,2012,terdapat enam skema penetapan harga yaitu penetration price(harga penetrasi),skimming price (harga pada saat peluncuran),follow the leader price (mengikuti harga market leader),variable price (harga sesuai tingkat permintaan & penawaran),peak load price (pembebanan harga tinggi pada produk tertentu) dan pricing line (mematok harga berbeda pada lini produk yang berbeda).Dari berbagai tipe penetapan harga tersebut,pengelola wisata hendaklah memahami kembali orientasi tujuan dari penetapan harga yaitu yang berorientasi pendapatan,orientasi kapasitas dan orientasi kepada pelanggan.Maka merujuk kepada berbagai permasalahan isu tersebut diatas, strategi penetapan harga produk wisata berdasar orientasi pelanggan hendaknya menjadi prioritas,tanpa mengesampingkan factor keuntungan dan kapasitas pelayanan.Selanjutnya jika orientasi yang diambil mengacu kepada kebutuhan pelanggan (tamu) maka perlu memperhatikan tiga indicator kebutuhannya yaitu berupa keterjangkauan harga,potongan harga dan metode pembayaran.
Pemasaran Terintegrasi
Sebagai suatu service industry, bisnis wisata memerlukan konsep pemasaran yang terintegrasi (integrated marketing).Pemasaran terintegrasi adalah upaya pemasaran yang tepat untuk mempromosikan produk atau layanan yang memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dan pada saat yang sama, memberikan keuntungan bagi organisasi atau perusahaan Keseimbangan inilah yang harus tetap diperhatikan oleh pengelola wisata yaitu bagaimana menempatkan pelaku wisata di dalam persepsi wisatawan berupa needs & wants,dengan tetap menjalankan proses pencapaian profit yang berimbang bagi perusahaan,sesuai metode penetapan harga yang digunakan.
Pemasaran pariwisata selalu berhubungan dengan product tangible & intangible dan tidak dapat dievaluasai sebelum dikonsumsi ,sehingga menjadikan pentingnya pengaruh interpersonal merupakan aspek penting dalam proses pengambilan keputusan bagi konsumen dalam mengkonsumsi produk jasa tersebut.Maka bagaimana mengeliminasi ulasan-ulasan buruk tentang destinasi wisata yang sempat viral adalah sejauh mana para pengelola usaha wisata dan para pelaku pariwisata mulai lebih memahami karakteristik bisnis pariwisata itu sendiri dengan tepat.(*)
