garutexpress.id- Setelah menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang) selama 12 tahun, petualangan seorang buronan kasus korupsi berakhir. Tersangka koruptor ini berhasil dicokok tim ditangkap Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut
Kepala Kejari Garut, Neva Sari Susanti mengatakan, terpidana kasus korupsi yang sempat jadi DPO selama 12 tahun ini dketahui bernama Tauhidi Fachrurozi (52), alias Tauhidi bin Budi Raemi saat ini tercatat sebagai warga Kampung Ekspres, Desa Jatiragas Hilir, Kecamatan Patok Beusi, Kabupaten Subang.
Saat menjadi DPO, Tauhidi sempat mengganti nama sehingga cukup menyulitkan proses pencarian oleh pihak Kejari Garut.

“Pada saat menjadi DPO Tauhidi sempat mengganti nama. Tetapi gara-gara menggugat cerai istrinya pihak Kejari Garut berhasil mendeteksi keberadaannya yaitu di Kabupaten Subang. Tidak menunggu waktu lama Kejari Garut langsung menjemput Tauhidi di kediamannya,” ungkapnya.
Ia merupakan DPO kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pelelangan Ikan (PPI) Cilauteureun, Kecamatan Cikelet yang anggarannya berasal dari APBD Provinsi Jabar tahun 2005.
Menurutnya, pada tahun 2005 lalu, terpidana ini mendapatkan proyek pembangunan pusat pelelangan ikan di Desa Pamalayan, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut dengan anggaran dari APBD Provinsi Jabar dengan nilai kontrak sebesar Rp1 miliar,” kata Neva kepada sejumlah awak media, Kamis, (16/9/ 2021).
“Namun hasil pekerjaan yang dilakukan perusahaan milik terpidana saat itu ternyata volume pengerjaan dan speknya dinyatakan tidak sesuai. Selain itu, kewajiban untuk melakukan pemeliharaan pun tidak pernah dilakukan sehingga menimbulkan kerugian uang negara hampir mencapai Rp 600 juta tepatnya sebesar Rp 599 juta,” katanya.
Pada tahun 2007, tutur Neva, sudah ada putusan pengadilan terkait kasus korupsi yang dilakukan terpidana ini, yakni yang bersangkutan saat itu dinyatakan bebas.
“Namun saat itu JPU memutuskan untuk menempuh upaya hukum banding hingga akhirnya tahun 2011 jatuh putusan Mahkamah Agung RI No. 669 K/Pid.Sus/2007 terhadap Tauhidi berupa kurungan penjara 12 tahun dengan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan penjara, serta uang pengganti kerugian negara sebesar 449 juta jika tidak bisa diganti kurungan penjara selama 1 tahun,” beber Neva. (*)
Reporter : Angga Wisesa
Editor : KE