Oleh Arif Ramdhan
Sebelum 17 April, jari-jari tangan kita terbelenggu dengan makna simbolik angka satu dan dua. Simbol jari mana yang kita acungkan sangat berpotensi menggiring persepsi orang lain dalam memaknai kita, pada posisi mana berada.
Dulu, begitu bebas kita mengacungkan jari, suka-suka mau yang mana dan membentuk formasi apa, bebas. Tapi saat genderang Pilpres 2019 ditabuh, seorang berbaju Korpri harus ekstra hati-hati saat berpose dengan jari membentuk angka dua atau angka satu sekalipun.
Seorang ASN akan salah dimaknai dan mendapat teguran saat berpose jari melambangkan angka satu karena dianggap tidak netral.
Sial baginya, jika formasi jari membentuk angka dua, siap-siap berhadapan dengan atasan. Tak heran, kita menemukan meme berpose jari jari angka atau dua tetapi tak terlihat muka, sementara ia mengenakan pakaian dinas.
Pada masyarakat literasi, kondisi ini juga menyimpan persoalan. Simbol literasi biasa diragakan dengan jari bentuk L, ibu jari berdamping dengan telunjuk lurus ke atas bermakna literas.
Tapi di dunia pencalonan Presiden ini bukti dukungan kepada calon tertentu di ajang pesta demokrasi kali ini.
Selain sebagai makhluk sosial, dalam berinteraksi kita juga dikategorikan sebagai makhluk simbolik (Homo Symbolicum), dalam disiplin ilmu komunikasi banyak dibahas soal simbol dalam kehidupan manusia, demikian juga beragam makna simbol dapat ditafsir oleh manusia.
Simbol atau symballo adalah meletakan satu ide gagasan objek di mana objek itu mewakili gagasan dimaksud, demikan pula dalam proses menuju Pilpres 2019 kali ini.
Ketika simbol menjadi lambang kekuatan atau bentuk show of force sebuah komunitas, maka simbol itu menjadi milik mereka.
Simbol jari menjadi terpenjara ke dalam gagasan-gagasan kelompok yang sedang bertarung menuju kursi Presiden.
Jari satu dan jari dua telah tersepakati kolektif sebagai simbol kelompok yang sedang berjuang, hal demikian pernah juga terjadi dalam perlawanan masyarakat Mesir pada periode melawan Presiden Hosni Mubarak.
Mohammad Morsi pun naik kuasa dengan gerakan simbol jari Rabi’ah atau arba’ah yang artinya Empat.
Simbol Rab’ah dijadikan sebagai simbol keteguhan, kekuatan, perlawanan dan persatuan bangsa Mesir untuk seluruh dunia yang mencintai kebebasan.
Meski kita harus puas menyaksikan bagaimana Morsi diperlakukan rezim kemudian, sejarah mencatat itu!
Simbol jari telah menempati posisi sakral dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Jari Satu dan Jari Dua telah memisahkan gerak sebagian anak negeri. Jari Satu bukan saya dan Jari Dua bukan kita, pun demikian sebaliknya.
Kondisi ini telah meretakkan kita orang Indonesia dalam satu simbol kebersamaan yang lama terajut dalam sejarah bangsa ini.
Pilpres telah digelar, dunia mengucapkan selamat atas berjalannya pesta demokrasi di Indonesia yang aman hingga detik ini.
Penetapan perhitungan resmi akan dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei mendatang, Insya Allah!
Karena jari-jari tangan telah tercelup tinta biru usai mencoblos di bilik suara, sejatinya jari-jari ini juga telah merdeka dari perangkap simbol sakral “Jari Satu” dan “Jari Dua”.
Biarkan jari-jari ini merdeka mengungkap simbol angka berapa pun, karena sejatinya ini tangan kita dan kita yang kuasa.
Itu tangan saudara kita dan mereka yang berkuasa hendak memaknai atau bersepakat pada simbol berapa.
Mari kita bebaskan jari kita dari perangkap ini, karena jari kita orang Aceh punya jari 10 tanda mulia, maka kita muliakan jari ini untuk muncul ke publik, Jaroe lon siploh di ateuh ule, Meuah lon lake bak kawom dumna, Jaroe lon siploh di ateuh ubon, Salamu’alaikum, lon tegur sapa.
Merdeka Jariku!
Garut, 20 April 2019
Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry Banda Aceh