
garutexpress.id – Euis (55), warga Kampung Rokal, Kelurahan Pakuwon, Kecamatan Garut Kota, mengaku bingung. Rumah yang dihuninya harus dibongkar, sebab akan digunakan kembali untuk jalur rel kereta api. Bahkan, begitu mengetahui rumahnya harus dibongkar, ia sempat jatuh sakit selama seminggu.
Euis memang termasuk salah satu dari ratusan warga yang sudah lama menetap di Kampung Rokal yang berada di sekitar Stasiun Kereta Api Garut. Agar kondisi rumahnya nyaman, pada sekira tahun 1990-an ia pun membangun dua rumah di atas lahan milik PT KAI.
“Saya ngebangun Rp 180 juta, tapi cuma dapat ganti rugi Rp 19 juta. Katanya sudah Pemilu akan mulai dibongkar,” ucap Euis.
Karena itu, Euis meminta pemerintah bisa memerhatikan warga yang terdampak pembangunan jalur rek Cibatu-Garut. Menurutnya, tak mudah mencari rumah kontrakan untuk ia dan keluarga tinggal.
“Jangan asal main bongkar saja. Tapi pikirin kami mau tinggal ke mana. Saking kesalnya, warga sampai ngancam enggak mau nyoblos pas pemilihan nanti,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah pedagang Pasar Gapensa yang juga lapak dagangannya kena gusur, kini tidak lagi melakukan aktifitas usahanya. Malah, atas inisiatif sendiri sebanyak 50 pedagang, sejak lima hari lalu sudah membongkar kiosnya. Pasalnya lahan pasar akan menjadi jalur rel kereta api jurusan Cibatu-Garut.
Menurut salah seorang pedagang ayam potong, Endang (66), ia sudah berjualan sejak 2004. Selama 15 tahun berjualan, Endang kini hanya bisa meratapi lapaknya yang sudah rata dengan tanah.
“Memang belum ada surat pemberitahuan resmi. Baik dari pemerintah maupun dari PT KAI. Tapi kami pilih bongkar saja karena sudah tidak nyaman jualan juga,” kata Endang di Pasar Gapensa, Selasa (5/3/2019).
Memang belum semua kios di Pasar Gapensa dibongkar. Dari 300 kios, baru sekira 50 kios yang dibongkar oleh pedagang. Lokasinya berada tepat di belakang Stasiun Garut dan berada di atas rel.
Menurutnya, pasar yang awalnya tertutup, pada 10 hari lalu dibongkar bagian atapnya oleh petugas PT KAI. Ia yang semula tetap bertahan untuk berdagang, jadi tak nyaman karena lokasi yang panas.
“Pedagang juga enggak mau beli karena panas. Dulu kan ditutup kanopi. Tapi sudah dibongkar. Enggak ada informasi mau dibongkar, tiba-tiba saja,” ucapnya.
Stasiun Garut yang dulu jadi markas salah satu organisasi masyarakat juga sudah bersih. Cat warna jingga sudah diganti dengan cat dominan putih dan abu-abu.
Bahkan pintu masuk menuju stasiun pun sudah ditutup menggunakan gerbang besi.
“Enggak tahu ini mau direlokasi ke mana. Katanya mau ke Pasar Jagal, masih dekat dari sini. Tapi enggak tahu seperti apa teknisnya,” terang Endang.
Ia menyebut dari 300 pedagang yang harus membongkar kios, tempat relokasi hanya bisa menampung sebanyak 50 pedagang. Banyak pedagang aral karena tidak ada kepastian yang diberikan pemerintah.
Sementara itu, Bupati Garut, Rudy Gunawan, menyebut terkait keinginan hunian sementara bagi warga terdampak merupakan urusan pemerintah pusat. Pemkab menyambut baik, namun harus dianggarkan dari APBN.
“APBD itu kami hanya bisa bangun rutilahu. Itupun harus punya tanah. Kalau ada yang seperti itu (rutilahu) kita bisa anggarkan,” ujar Rudy.
Menurutnya, warga terdampak selama ini menyewa lahan ke PT KAI. Apalagi sudah disadari lahan itu harus dikembalikan jika sewaktu-waktu PT KAI memerlukan.
“Saya ikutin saja karena PT KAI laksanakan tugasnya sendiri. Ke Pemda hanya minta bantuan pengamanan. Bukan cuma pengamanan tapi minta Pasar Gapensa itu dikosongkan,” ucap Rudy. (FW)***
Editor : SMS
Negara harus harus berpihak pada masyarakat .. mereka bukan masalah nya menerima atau menolak… tapi kasihan .. bayangkan kalau kita dalam posisi masyarakat sekitar rel itu